Salah Siapa - Dialog Antar Agama Sampai Macet 14 Abad
Pihak Islam misalnya harus diizinkan mendirikan rumah-rumah ibadahnya atau berdakwah atau menyebarkan traktatnya di London, di Paris dan dimana-mana di dunia, namun jelas kegiatan serupa tidak diizinkan bagi gereja-gereja untuk berdiri apalagi untuk beroperasi penginjilan di Saudi Arabia, dan dikawasan Dar al-Islam manapun (Negara-negara Syariah Islam). Status quo sepihak inilah (dan bukan reciprocity timbal balik) yang diterima sebagai “reciprocity ala Islam”.
Setelah berdebat dan bertukar polemik selama 1400 tahun diantara Muslim dan Kristen, ternyata masih saja terjadi jurang salah-paham yang amat besar yang memisahkan kedua komunitas kepercayaan ini. Kalau ini diteruskan tanpa terobosan besar, maka sampai kiamat tak akan ada satu jembatan sempit pun yang bisa terhubungkan. Dialog selalu diserukan oleh kedua belah pihak, namun berapa orangkah yang betul-betul tahu apa dan bagaimana yang perlu didialogkan?
Ada prakondisi ketat untuk itu.
Satu, bahwa para pihak yang berdialog harus memahami betul-betul agama dari kedua belah pihak secara timbal baik, bukan hanya paham agamanya sendiri. Kedua, dialog harus diikat pada keadilan universal yang dalam setiap aspek atau isu memperlakukan dan mengikat setiap pihak secara timbal balik. Apa yang salah satu pihak kenakan kepada pihak lainnya adalah pula yang harus dikenakan balik kepada diri sendiri!
Kenyataannya adalah tidak banyak orang yang betul-betul memahami agamanya sendiri, apalagi agama pihak luar yang mau diajak berdialog. Berapa persen dari pemeluk Islam yang membaca dan memahami Al-Quran DAN Kitab-kitab suci orang Kristen, dan sebaliknya orang-orang Kristen memahami baik Alkitab-nya DAN Al-Quran? Semua pihak tampaknya hanya mendapatkan pengetahuan agamanya dari satu sumber saja: Muslim dari sumber Islamnya, dan Kristen dari sumber Kristianitasnya. Akibatnya, mereka hanya mendalilkan sesuatu menurut sudut pandang dan keperpihakannya sendiri, dan sangat tak tahu dan tak siap untuk memberlakukan “the golden rule”, azaz timbal balik, yang harus menerima apa yang dikenakan pihak lain kepada dirinya.
Sebagai contoh konkret saja kita petikkan disini satu pernyataan dari satu tokoh penulis Muslim yang tersohor, Shabbir Akhtar, yang masih lumayan ketika ia berkata demikian:
“Kebanyakan Muslim termasuk yang terpelajar sekalipun, praktis tidak tahu apa-apa tentang Kristologi. Sedikit Muslim yang tahu membedakan secara jelas dua pandangan maha-berbeda berikut ini:
Shabbir Akhtar
“Satu, pandangan bahwa seseorang mengklaim keilahian seorang manusia, dan ini lalu yang disebut “menghujat Tuhan”. Dan dua, pandangan bahwa Tuhan secara sukarela menjelma menjadi manusia (untuk kemanusiaan), sebagaimana yang diimani oleh Kristen orthodox. Dan kedua pandangan ini secara umum lalu dirancukan dengan doktrin bidah bahwa Tuhan mengadopsi seorang Putra…”
Shabbir Akhtar melanjutkan:
“Seorang Muslim tidaklah betul-betul dapat mengklaim dirinya berdialog dengan pihak Kristen kecuali ia memiliki pemahaman pengetahuan yang memadai tentang iman Kristiani. Tentu saja kita dapat mengatakan hal yang sama kepada pihak Kristen tentang kemasa-bodoannya terhadap keimanan Islamik, dan terhadap banyak gambaran-gambaran stereotype negatif yang telah dikaitkan pihak Kristen terhadap Muslim. Jadi sekali lagi, permintaan saya adalah agar sejak malam ini kita semua mau melakukan usaha ekstra untuk sungguh-sungguh mendengar dan mengambil satu langkah lebih dekat ke depan menuju saling pengertian terhadap posisi masing-masing”…
Tampaknya Shabbir Akhtar menekankan pemahaman agama secara reciprocity (timbal balik) yang harus dikenakan kepada pemimpin agama yang satu terhadap yang lain. Ini dianggap kunci dalam setiap bincang-bincang diantara mereka dimuka umum sambil menjaga “kesopanan dan kepantasan”. Tetapi dalam praktek yang tampak sehari-hari, Muslim umumnya tidak terlalu setuju gagasan reciprocity ini karena menyadari bahwa Islam secara intrinsik memang tidak menempatkan kepentingan pihak kafir setinggi seperti pihak Muslim.
Pihak Islam misalnya harus diizinkan mendirikan rumah-rumah ibadahnya atau berdakwah atau menyebarkan traktatnya di London, di Paris dan dimana-mana di dunia, namun jelas kegiatan serupa tidak diizinkan bagi gereja-gereja untuk berdiri apalagi untuk beroperasi penginjilan di Saudi Arabia, dan dikawasan Dar al-Islam manapun (Negara-negara Syariah Islam). Status quo sepihak inilah (dan bukan reciprocity timbal balik) yang diterima sebagai “reciprocity ala Islam”.
Zakir Naik
Zakir Naik, pendebat Islam yang kesohor dari India pernah diinterview dengan mempertanyakan dimana letak keadilan timbal balik (bukan hukum sepihak, tetapi keadilan reciprocal) Islamik seperti kasus diatas. Apa kata Zakir Naik? Ia mengutib Surat Ali Imran ayat 85 yang menyebutkan “hanya agama Islam yang dapat diterima”.
Ia memberi contoh ilustrasi:
“Andaikata Anda mempunyai 3 orang guru, dan yang satu mengajarkan 2+2= 3. Yang kedua mengajarkan 2+2=4. Dan yang ketiga mengajarkan 2+2=6. Maka pastilah Anda tidak mempekerjakan guru yang pertama dan ketiga untuk mengajarkan matematika kepada anak-anakmu, bukan? Nah, agama Yahudi adalah ibarat orang yang mengajarkan formula 2+2=3, sedangkan agama Kristen percaya formula 2+2=6. Kedua ilmu hitung itu adalah konyol. Keduanya adalah salah… Islam muncul dengan bukti yang yakin menjadi agama yang berkata 2+2=4. Demikianlah maka orang yang ngajarnya ngaco tidak boleh diizinkan mempropagandakan ajarannya di tanah dimana Islam menguasainya!”
Jadi itulah keadilan reciprocal Islamik yang kita saksikan sehari-hari, yang boleh menuntut apa saja di dapur orang lain atas nama Islam, namun tetap tidak merasa risih melarang hal yang sama terjadi di dapurnya sendiri atas intrusi pihak luar yang dianggap kafir. Memang itulah yang terjadi selama ini, yaitu kemacetan dan kesia-siaan dialog yang bertolak dari chauvinisme ISLAM, selama 14 abad!
Dipihak Kristiani, Tuhan telah menegaskan dengan pelbagai frasa bahwa berdialog itu bukanlah untuk ngotot mencari kemenangan dengan mengalahkan pihak lainnya. Bahkan bukan untuk “kristenisasi” seperti yang sering dituduhkan, melainkan
“Untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, … dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang Murni” (1Pet.3:15-16).
“Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu.” (Mat.10:14).
Pihak yang merasa keteteran dalam sharing dan dialog pun tidak perlu merasa dirinya harus kehilangan muka apalagi beralih iman. Semua akan memperkaya wawasan dan pilihan sehingga semua pihak harus penuh kerelaan dan rendah hati dalam interaksi dialogis.
Format dialog ala Shabbir Akhtar diatas sekilas lintas tampak seperti gagasan yang maju dan masuk akal. Itu baik-baik saja. Namun itu tak bakalan efektif pula. Ia hanyalah sebuah reciprocity umum demi menjaga bentuk lahiriah “kesopanan dan kepantasan” dan “politically-correctness”, yang banyak dipoles oleh bedak dan lipstick diwajah. Ia belum menjaga hakekat kebenaran dan kepantasan sebagaimana yang Tuhan turunkan kepada umatNya untuk berdialog. Yaitu menegakkan hubungan interaktif dan positif di antara Muslim dan Ahli Kitab sebagaimana yang telah ditegaskan diatas, dan tuntutan rendah hati yang sama oleh Al-Quran dalam ayat-ayatNya yang muhkamat:
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu” (QS.10:94).
Ayat dahsyat ini sungguh adalah ayat terobosan yang Allah berikan kepada umat Muslim. Ia tidak pernah dinasakhkan. Malah diulang/ dipertegas dengan ayat susulan
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS.16:43).
Kunci dialog islami adalah bertanya dan bertanya dengan rendah hati kepada para Ahli Kitab! Artinya, buanglah jauh-jauh sifat chauvinisme yang menyesatkan dalam dialog. Melainkan selalu perlu merujukan kebenaran quranik kepada Alkitab apabila ada keraguan wahyu yang harus dipersoalkan. Kenapa harus begitu?
Ya, Allah SWT tahu (walau Muhammad sendiri tidak tahu karena ke-ummiannya) bahwa Alkitab itu tebalnya 6 kali Al-Quran, lengkap menjadi Kitab yang self-sufficient untuk manusia mengenal Tuhan dan segala sesuatu untuk mendapatkan keselamatan yang kekal daripadaNya. Tidak demikian dengan Al-Quran, yang hanya “lengkap-utuh” bila didampingi oleh Hadis Nabi, dan juga Alkitab.
Dengan Quran sendirian, Muslim tidak akan tahu siapa itu Muhammad, bagaimana wahyu Quran diturunkan, bagaimana bersholat dll. Begitu pula tanpa Alkitab, Muslim sulit memahami dan menghubungkan cerita tentang kejadian alam, mukjizat para nabi-nabi serta ajarannya, khususnya apa itu Taurat, Zabur, Injil. Itu sebabnya maka Allah menyerukan kepada Muhammad untuk tidak ragu berkonsultasi kepada para Ahli Kitab atas wahyu-wahyuNya yang masih diragukan (Qs.10:94).
Ini adalah sebuah perintah yang sangat serius dan tidak pernah dinasakh-kan! Orang-orang Yahudi dan Kristiani dianggap cukup memahami apa yang telah diturunkan Tuhan ke dalam Alkitab mereka. Itu sebabnya mereka diistilahkan sebagai para Ahli Kitab! Kaum Nasrani bahkan telah diberikan Injil yang berisi cukup petunjuk dan cahaya yang menerangi. Dengan Injil, mereka tidak akan berjalan dalam kegelapan, dan ini dijadikan dasar ilahiah untuk pengajaran dan memutuskan perkara mereka sendiri,
“Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang (telah) diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.
“Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (Qs.5:46-47 dan 68). [Perhatikan kata ‘Quran’ sengaja tidak termasuk ke dalam ayat-ayat aslinya, melainkan ‘apa yang telah diturunkan’, yang berbicara tentang Kitab-Nabi-nabi Israel dari kisah di Alkitab].
Jadi ketika Tuhan diakui sebagai pihak yang menurunkan Kitab-kitab Taurat dan InjilNya, maka Ahli Kitab atau siapa saja yang mengabaikannya atau yang tidak menegakkannya akan dipandang sebagai orang orang fasik dan tidak beragama.
Ini suatu perintah wajib Quran yang telak bagi semua pihak tanpa kecuali, termasuk Muhammad, demi untuk memahami dan menegakkan kebenaran Tuhan seutuhnya!
Pertanyaan kita sekarang, apakah Muslim sudah menegakkan Taurat dan Injil seperti yang Allah perintahkan? Dan apakah Muslim sudah berdialog dengan Ahli Kitab dengan cara yang betul, yaitu dengan banyak bertanya dalam kerendahan hati? Selama kedua perintah ini tidak ditegakkan oleh Muslim dengan rendah hati, maka format dialog yang tercanggih manapun akan jadi sampah belaka!
Kesimpulan:
Perintah-perintah semacam ini sangat jelas. Rumusan untuk keberhasilan dialog juga sudah diberikan dengan jelas. Namun yang lebih jelas lagi adalah pelanggarannya oleh Muslim sendiri, karena ketika berhadapan dengan pihak Ahli Kitab, Muslim hanya mau memilih ayat atau keharusan yang memuliakan dirinya atau lebih tepatnya: harga dirinya! Ayat minta konsultasi (QS.10:94) sangat menghina, dan itu diharamkan mereka! Namun justru di area semacam inilah setan leluasa bekerja. Setan Cuma perlu memakai siasat lama yang pernah menimpa dirinya. Yaitu ketika Allah memerintahkan mereka untuk bersujud kepada Adam, dan mereka menolak karena merasa harga dirinya terhina. Kini sejarah berulang, sebab dimanapun sejak Muhammad, kita tidak pernah menyaksikan bahwa Muslim dengan rendah hati mau meminta konsultasi kepada Ahli Kitab atas apa-apa yang Allah telah turunkan bagi mereka. Mereka sepertinya berkata: “Tidak! Kami terbuat dari Cahaya, tak akan pernah bertanya kepada Tanah!”
Itu sebabnya Muslim malahan mendengungkan slogan-slogan sebaliknya yang mendiskreditkan Ahli Kitab sekalian dengan KitabNya. Mereka justru berslogan ria terhadap Kristen yang dianggap kafir dan sesat:
“We Muslims have nothing to learn from you infidels”.
Tapi mau dibuang kemanakan ayat-ayat Quran 10:94 dan 5:68? Ayat tetap tergores kekal dan benar di Lauh Mahfudz disisi Allah, sementara kesombongan akan punah!?