Siapakah Qurra Itu Sehingga Setiap Muslim Terjebak Mendewakannya?

Oleh: Kalangi (Bagian 2)

Utsman dengan politik kekuasaannya yang dikenal nepotis dan korup, telah mendekritkan keabsahan mushafnya sendiri secara sewenang-wenang sambil memerintahkan pembakaran seluruh naskah Quran selainnya yang paling primer tanpa ditunjukkan kesalahannya! Membakar ayat dan surat asli Allah tanpa sedikit pun menguji kebenaran atau kesalahannya jelas adalah tindak penghujatan dan kejahatan (Ingat, Terry Jones dari Florida yang dikutuk itu masih mengundang para juri untuk membela kebenaran Quran sebelum diputuskan untuk dibakar). Itu adalah bentuk pembungkaman ayat-ayat Allah yang masih absah sebelum ia dibuktikan sebagai ayat-ayat setan! Dan hanya ayat-ayat setanlah yang boleh dibakar! Jadi pembakaran naskah ayat-ayat itu adalah kesalahan yang sangat fatal, namun tidak diprotes oleh para qurra (yang sekali lagi memperlihatkan betapa integritas moral mereka!). Tetapi herannya Muslim diseluruh dunia juga sama “melengos” dan tidak mempersalahkan dan mengutuk kejahatan Utsman yang satu ini! 

Hanya Ibn Mas’ud seorang yang berani mendamprat Utsman dan Hudhayfah (anteknya Utsman yang paling getol memusnahkan naskah-naskah Quran yang lain) dimuka umum. Hudhayfah berkata, “Seandainya aku berjumpa dengan Utsman, niscaya aku akan memaksa beliau untuk menenggelamkannya (naskah-naskah lain) kedalam satu mushaf.” Abdullah ibn Mas’ud menjawab, “Demi Allah, seandainya kamu lakukan hal itu, niscaya Allah akan menenggelamkanmu kesuatu tempat selain air (neraka jahanam)” [Ibnu Khalwaih, Syawadz al-Qira’at, p.87].

Rupanya Ibn Mas’ud paham bahkan beriman bahwa apa yang diharamkan manusia (membiarkan pelbagai ragam “versi” Quran), tidak mesti diharamkan oleh Allah yang juga sudah membiarkan 7 versi ragam bacaannya. Dan ini persis telah ditunjukkan oleh hadirnya 4 jenis kesaksian Injil oleh Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes secara berbeda aksara dan bacaan, namun secara message dan konten mereka justru saling melengkapi dalam keserasian!!

Alhasil Allah SWT menunjukkan penghukumanNya, bahwa pengingkaran perintahNya (dalam surat semisal Quran) ditambah dengan kejahatan pembakaran Kalimat-Nya itu harus dibayar harganya dengan kematian Utsman yang tidak biasa! Ia terbunuh di rumahnya sendiri dengan cara yang paling tragis, oleh kaum Muslim sendiri, yang memprotes dekrit pemusnahan naskah-naskah Quran, dengan melewati proses penguburan yang paling hina: jenazah busuk 3 hari, dan pada awalnya  dikuburkan bukan dikuburan Muslim, Jannat al Baqy, melainkan di kuburan Yahudi! Lihat:

http://en.wikipedia.org/wiki/Uthman_ibn_Affan#Assassination.

Kedua khalifah diatas telah bersiasat diluar iman kepada Allah sehingga lebih mempercayakan otak para qurra ketimbang beriman memohon doa dengan ikhlas dan khusyu’ agar kuasa Roh Allah sendiri yang akan memelihara QuranNya dengan pemunculan yang berbeda! Siapa bilang bahwa Allah SWT tidak sanggup menggerakkan Ali ibn Abi Thalib secara Roh, misalnya, untuk menghadirkan mushaf-baru yang betul-betul diabsahkan Allah dan umat secara mutawatir?

Khalifah seharusnya pertama-tama berdoa dan berpuasa – malah memerintahkan seluruh umat untuk bersama sama memohon dan menagih janji Allah, hingga tanda-tanda khusus  ilahi menggejala disaksikan oleh umum. Allah punya sejuta cara, dan mungkin saja Ali ibn Abi Thalib yang berintegritas itu – dan bukan kepada qurra pasaran – yang bisa Allah izinkan untuk merampungkan penulisan dan penyusunan mushafnya yang memang sudah dimulainya dengan bersih dan tertib urut kronologi (The True Guidance IV, p.56, berlainan dengan mushaf Utsman). Sedemikian sehingga mushaf-Ali bisa menjadi otoritas dan standard Quran resmi, yang akan sekaligus berkemampuan menyatukan Islam Sunni dengan Shiah dll?! 

Bandingkan bagaimana cara Tuhan Elohim untuk memelihara Injil-Nya sendiri. Yesus -- yang walau mampu menulis -- namun tak pernah melakukan sendiri atau memerintahkan muridnya untuk mencatat Injil. Sekalipun ada muridnya yang mulai mencatat atas inisiatif pribadi, namun finalisasi otoritas kebenaran Injil tidak dilakukan oleh manusia dan akal-akalan, melainkan seluruhnya oleh karya pimpinan Roh Kudus. Roh yang diutus dalam nama Yesus (sesaat Ia diangkat kesurga) itulah -- dan bukan qurra -- yang akan memimpin, mengajarkan dan mengingatkan murid-murid Tuhan tentang semua Firman Tuhan,

“…apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran”.

“Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku (Yesus), Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu. (Yohanes 16:13, 14:26)  

Maka tak ada murid Yesus yang panik atas pelbagai versi penyaksian Injil, apalagi menghadapi pembakaran massal Alkitab dan pemusnahan Kitab Injil yang dilakukan tiada henti hingga sekarang inipun! Tak ada pengikut Yesus yang merasa terancam lalu bertindak jahat memusnahkan naskah Injil/Alkitab versi lainnya. Mereka melainkan mengandalkan doa dan berpuasa, dan Tuhan yang empunya Firman–lah yang akan bertindak.  

Firman itu hidup, tidak mati dalam aksara Arab, dan tidak mati karena qurra mati,

”Perkataan-Mu (Yesus) adalah perkataan hidup yang kekal” (Yohanes 6:68), tidak termusnahkan oleh siapapun. Ia terjaga tidak dengan senjata, atau tambal-sulam ala qurra dan dekrit raja. Tuhan Elohim dan Yesus telah berduet dalam kesenyawaanNya, berkata sesuatu yang sama, yang tidak bisa dikatakan oleh Allah SWT, Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, Zayd, Hudhayfah, atau siapapun lainnya:  

ELOHIM: “Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Elohim kita tetap untuk selama-lamanya” (Yesaya 40:8).

YESUS: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku (Injil) tidak akan berlalu” (Matius 24:35).  

Kelima, apakah karya qurra berhasil menampilkan teks Quran menurut message dan konten surgawi? 

Untuk menelusuri masalah ini, mari kita bertanya: Apakah teks dari qari A sama dengan teks qari B, untuk ayat  X dan surat Y yang “dianggap” sama, karena semuanya harus identik dengan apa yang telah digoreskan dalam Kitab di Surga?

Kita mengetahui bahwa Hudhayfah ibn al-Yaman (pemimpin ekspedisi bersenjata Islam ke Armenia dan Azerbaijan) menemukan perselisihan yang sengit diantara warga tentang ragam pembacaan Quran yang berbeda satu terhadap yang lainnya -- sampai-sampai mereka saling mengkafirkan. Maka Hudhayfah segera melaporkannya kepada Khalifah Utsman dengan pesan:  

“Wahai Amir al-Mu’minin, selamatkanlah bangsa ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab Allah, seperti yang  telah terjadi pada Yahudi dan Nasrani pada masa lalu.”  Dan Utsman-pun segera bertindak memerintahkan pembentukan panitia pembukuan Quran dengan Zayd lagi-lagi sebagai ketuanya, dan meminta kepada Hafsah agar meminjamkan mushafnya untuk penyalinan baru (Bukhari VI, p.479). 

Perhatikan bahwa Muslim selalu meng-eufemisme masalah perbedaan Quran sebagai ragam bacaan saja, tidak lebih. Dan hanya menyalin ulang mushaf Hafsah (bukan bongkar pasang). Tetapi bagi yang bernalar, mereka akan bertanya, ragam bacaan yang bagaimanakah bedanya sehingga sesama Muslim sampai terprovokasi saling mengkafirkan? Sedemikian sampai Hudhayfah merasa bahwa bangsa Arab bisa tidak terselamatkan karena beda bacaannya? Padahal justru Muhammad yang menginisiatifkan agar Quran dibaca dengan tujuh ragam bacaan:  

Rasul Allah berkata, "Jibril membacakan Quran kepada saya dalam satu cara. Kemudian saya minta dia (untuk membacanya dalam cara lain), dan seterusnya minta membacanya lagi dalam cara-cara lain, sehingga dia membacanya dalam 7 cara berbeda."  (Bukhari 61/513)

Tampaknya masalahnya jauh lebih gawat. Dan kita telah memperlihatkan sebagian perbedaan isi naskah-naskah asli Quran, bukan hanya ragam bacaan. Banyak yang dapat ditunjukkan bahwa Quran yang terturun, dan qurra yang menghafal, serta catatan yang tertulis, ternyata isinya saling tidak mendukung  bahkan kontradiktif. Umar, misalnya, bersikukuh mengklaim ayat rajam harus ada di Quran, namun ternyata Zayd menafikannya dengan alasan bahwa jumlah saksinya tidak memadai karena cuma Umar sendiri. Sebaliknya Zayd terbukti kecolongan ayat-ayat Khuzaimah yang juga tidak disaksikan oleh 2 orang qurra (diluar panitia) seperti yang dikenakan pada ayat-ayat selainnya, namun Zayd tetap memasukkannya sebagai ayat Quran! Baca kedua Hadis dibawah ini, yang sama-sama shahih, dikumpulkan oleh Bukhari yang sama, namun yang saling bentrok dan membingungkan semua pembaca: 

Bukhari 61/509,

Maka saya mulai mencari dan mengumpulkan Quran dari pelepah-pelepah palem, lempeng batu putih dan juga dari orang-orang yang menghafalnya, hingga saya menjumpai ayat terakhir dari surat At-Taubah pada Abu Khuzamah Al-Ansari, yang tidak saya jumpai pada siapapun juga kecuali dia. Ayatnya adalah....(9:128-129) ... dan suhuf Quran ini disimpan oleh Abu Bakar... 

Bukhari 61/510, 

“Utsman mengirim kepada setiap propinsi Muslim satu kitab... Zayd bin Tsabit menambahkan,  “Satu ayat dari surat Ahzab terhilang oleh saya ketika kami sudah menyalin Quran… Maka kami mencarinya dan menemukannya pada Khuzaimah  bin Thabit Al-Ansari. Suratnya adalah …. (33:23)…. ”

Masyaallah, Zayd sampai dua kali kecolongan masalah yang sangat mirip?! Apakah ia menceritakan satu orang Khuzaimah yang sama, atau dua orang yang berbeda? Atau kisahnya tunggal namun dalam perjalanan tradisi oral lalu terpecah menjadi dua? Ayat yang terhilang tadinya sebenarnya satu ayat atau dua-tiga ayat? Apakah bukan karena “mabok” mencari ayat-ayat yang begitu acak dan terserak maka ia akhirnya membuat kekeliruan berturut-turut yang mirip-mirip? Lihat Sejarah Teks Al-Quran (p.103), betapa serius Prof. Al-Azami mencoba membedakan kedua Khuzaimah tersebut, sementara banyak ulama lain percaya itu hanya satu Khuzaimah yang sama orangnya. Versi Ibn Abu Dawud (p.11) malahan meriwayatkan bahwa ke-2 ayat yang kecolongan itu (ayat terakhir dari Surat At Taubah) justru diingatkan oleh Khuzaimah sendiri kepada Zayd dkk., bukan karena kesadaran dari panitia pembukuan Quran! Yang mana memperlihatkan kekacauan yang amat serius terhadap apa-apa yang sedang dihimpun mereka dikala itu!

Kita harus lebih kritis bahwa kemunculan kasus ini sungguh diluar akal dan tidak hanya sampai disitu, melainkan berdampak sangat serius. Muslim seharusnya bertanya seheran-herannya terhadap kehebatan otak qurra, keshahihan Hadis dan kemurnian Al-Quran: 

“Lho, kenapa qari Zayd dkk. bisa kecolongan satu (dan atau dua) ayat, dan harus mencarinya kepada Khuzaimah A (dan atau B)? Bukankah ketika Zayd menyalin-ulang mushaf Abu Bakar atas perintah Utsman, maka dihadapan Zayd telah tersedia mushaf  Abu Bakar, yang sudah dikumpulkan oleh Zayd juga secara lengkap sebelumnya? Jika demikian, maka surat 33:23 pasti absen dari mushaf Abu Bakar!”

Dengan keteledoran menghilangkan satu ayat Khuzaimah dalam mushaf Abu Bakar yang pernah dihimpunnya sendiri maka gugurlah semua  klaim yang mendewa-dewakan keakuratan qura dan Zayd sebagai ketua penghimpunan Quran! Semua mutu penghimpunannya tampaknya hanya bersifat “usaha petualangan yang sebaik-baiknya” sepanjang yang diingat manusia Zayd, termasuk memaksakan ayat-ayat yang tidak cukup disaksikan oleh 2 orang qurra boleh menjadi bagian dari Quran!  Kerancuan bertambah karena teman-teman se Komisi Zayd ternyata tidak tahu-menahu kalau ada ayat Khuzamah yang kecolongan! Semuanya sudah terlanjur terjadi dibawah penanganan Zayd. Maka bagaimana Muslim kini bisa memastikan bahwa Qurannya terjamin sempurna? 

Keenam, jangankan qurra, Muhammad bahkan manusia pelupa! 

Praktis semua literatur Islamik dan kotbah-kotbah dimesjid dipenuhi dengan dongengan bahwa para otak Qurra hebat tak terkira, dan tak ada satu ayat yang lepas tidak termeterai dalam otaknya. Wuih, Muslim bisa tertipu dengan pernyataan bombastis itu. Itu hanya bisa mungkin benar bilamana seluruh Quran sudah teredar dan berstandar sama diantara semua qurra. Namun ketika Quran baru mau disusun oleh Abu Bakar atau Utsman (masing-masing sekitar awal tahun 10-an H dan 20-an H) maka setiap qurra hanya memiliki porsi Quran yang dia pribadi kumpulkan/ hafalkan, dengan  bacaan, konten, dan urutan yang masih saling kacau sesamanya! Tak ada qari yang mengklaim dia hafal semua 114 surat, dan telah dibenarkan oleh Nabi. Satu-satunya sahabat Nabi yang mungkin bisa mengklaim pengajiannya benar sampai 70 surat hanyalah Abdullah ibn Mas’ud (Shahih Muslim, vol.4, p.1312), itupun tidak mesti benar urutan suratnya. 

Semoga umat Muslim awam tidak ditipu lebih jauh lagi bahwa otak qurra itu sempurna untuk seisi Quran, ketika fakta menunjukkan bahwa Muhammad sendiri bahkan terbukti lupa dan bersalah dalam keterbatasannya untuk menghafal keseluruhan ayat-ayat Quran. 

“Ketika sedang membaca Quran dalam shalatnya, Muhammad tidak membaca satu ayat. Ubay mengira bahwa ayat itu telah dinasakh-kan (digantikan). Ia bertanya kepada Muhammad, yang menjawabnya: ‘Saya lupa itu’” (Tafsir Al-Zamakhshari, untuk Qs. 87:6-7). 

Nabi juga mengakui dirinya sebagai manusia biasa dan sempat kecolongan daya-ingat akan sebagian Al-Quran. Salah satunya diriwayatkan dalam tradisi: 

“Aisyah berkata: ‘Ada seorang yang bangun (untuk shalat) dimalam hari. Ia membaca Quran dan mengeraskan suaranya ketika membaca. Keesokan harinya, Rasulullah (saw) berkata: “ Kiranya Allah mengasihi dia! Semalam dia mengingatkan saya akan sejumlah ayat yang saya terlupa”. 

(Sunan Abu Dawud, vol.3,p.1114 ; Al-Bukhari, Shahadat,11).

Ia (Nabi) berkata, "Jika ada suatu (perintah) yang baru dalam shalat, tentu saya akan memberitahukan kepada kalian, namun saya adalah manusia seperti kalian dan cenderung lupa seperti kalian. Jadi jika saya lupa maka ingatkan saya, dan jika seseorang diantara kalian [para sahabat Nabi] ragu akan shalatnya, ia haruslah mengikuti apa yang dianggapnya benar dan selesaikan shalatnya serta lakukan dua kali sujud Sahu” (Shahih Bukhari 1:8:394).

Para sahabat dan qurra tak luput diingatkannya sebagai manusia dan bukan mesin perekam, “… Sesungguhnya saya adalah manusia seperti kalian. Saya ingat seperti yang kalian ingat dan saya lupa seperti yang kalian lupa”. (Shahih Muslim 4: 1178)

Bahkan Muhammad sempat lupa seterusnya untuk salah satu hari dengan peristiwa  islamik yang paling penting, yang merupakan nikmat dan berkat-islam yang paling besar, yaitu Malam Qadar:         

“Maka Nabi bersabda, “Saya keluar hendak mengabarkan tentang terjadinya  malam qadar; kebetulan saya melihat dua orang sedang berbantah, maka aku jadi lupa. Mudah-mudahan kelupaan itu berguna untuk Anda sekalian. Carilah malam qadar itu dimalam ketujuh, kesembilan dan kelima.” (HSB I/41). 

Kesimpulan Besi 

Otak dan ingatan para QURRA tidak sedikitpun bisa dijadikan pendukung kualitas Quran, malahan sebaliknya justru telah terbukti membuat masalah!  

Bila Muhammad telah berkata kepada sahabatnya, “Saya cenderung lupa seperti kalian”, maka kenapa lagi Muslim tetap ngotot mendewakan otak manusia?

Mushaf dari Abu Bakar dan Utsman tidak mungkin bisa diabsahkan sebagai salinan wahyu surgawi. Mereka adalah produk-kepanikan, politisasi kekuasaan, tanpa iman, kecuali akal-akalan manipulatif dengan mendewakan otak qurra.

Abd Allah ibn Umar al Khatab – sesama tokoh Muslim – telah mewariskan komentarnya yang terpaksa tidak manis:

“…kamu akan berkata: ‘Saya telah mendapatkan al-Quran yang lengkap’, dan tidak mengetahui taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Quran yang telah hilang, dan karena itu seharusnya ia berkata: ‘Saya telah mendapatkan (bagian Quran) yang masih ada’.”  

Apa yang ingin dikatakan disini oleh seorang Ibn Umar dalam realitasnya yang terdalam? Tiada lain beliau ingin menegaskan kepada para Muslim yang masih mimpi-mimpi tentang keutuhan Quran Surgawi,  

“Yang tertinggal dan yang dipakai Muslim hanyalah Al-Quran de-fakto, bukan Al-Quran de-jure yang dimaksudkan oleh Allah, dan yang disaksikan oleh Nabi! “

Akhirnya, Allah SWT sendiri juga menjadi tergugat karena telah mengklaim sesuatu yang ternyata tidak mampu dikerjakanNya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Perkataan “sesungguhnya” disini sungguh ucapan angin kosong belaka.

Sebaliknya Alkitab dalam Kitab Yesaya 14:24, memberi batasan tegas tentang Siapa itu TUHAN yang sesungguh-sungguhnya:

TUHAN semesta alam telah bersumpah, firman-Nya:

Sesungguhnya seperti yang Kumaksud, demikianlah akan terjadi, dan seperti yang Kurancang, demikianlah akan terlaksana”!