Apakah Islam Dan Syariah Lebih Memiliki Kemiripan Dengan Ideologi Nazi Daripada Agama?
Oleh Steven Simpson – Rabu, 20 Oktober 2010
Apakah Islam dan Syariah Lebih Memiliki Kesamaan Dengan Ideologi Nazi Daripada Dengan Agama? Atau “Islam Uber Alles”
Sejak aksi keji yang dilakukan oleh para teroris Muslim dari Timur Tengah pada tanggal 11 September 2001 atas nama Islam, masyarakat Amerika Serikat dan Barat memperdebatkan apakah Islam adalah “Sebuah agama damai” atau lebih sebagai sebuah ideologi totalitarian yang dibungkus dengan jubah agama. Sayangnya, terlihat bahwa Qur’an, Syariah, dan serangan teroris Islam dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir, mengindikasikan bahwa Islam benar-benar merupakan sebuah ideologi totalitarian yang terlibat dalam usaha untuk menaklukkan seluruh dunia, sama seperti yang pernah dilakukan oleh Naziisme. Perbedaan utama adalah, jika Nazi didasarkan pada afiliasi rasial – Islam didasarkan pada afiliasi religius.
Kata “Islam” – kontras dengan keyakinan populer – mengandung arti “kepatuhan” dan bukan “damai.” Ketika Islam ditemukan oleh Muhammad ibn Abdallah pada abad ke-7, agama ini menaklukkan Peninsula Arab melalui perang-perang dan penaklukan-penaklukan yang dipenuhi dengan darah melawan sesama bangsa Arab, dan suku-suku Yahudi. Setelah konsolidasi Islam di Arabia, orang-orang Arab dengan cepat bergerak ke luar untuk menaklukkan kekaisaran-kekaisaran Persia dan Byzantium, dan juga bagian-bagian dari India, kemudian Spanyol. Semuanya itu dilakukan dibawah pedang dan melalui diskriminasi. Pengikut baru dari populasi orang asli tidaklah diperoleh dengan cara-cara damai.
Sebuah Pembahasan Ringkas Mengenai Syariah
Kitab suci Islam – Qur’an – berisi hukum-hukum dan perintah-perintah bagi orang Muslim yang percaya. Ia juga merupakan sebuah buku yang penuh dengan referensi untuk melakukan peperangan, penaklukan, dan bagaimana seharusnya memperlakukan non-Muslim. Dari Qur’an (terutama), dan juga dari Sunnah dan Hadis (sekunder) muncullah – diantara prinsip-prinsip lainnya – eksegese (tafsir) dan yurispredensi (fikih) mengenai bagaimana seharusnya mengintepretasikan hukum-hukum, ucapan-ucapan, kebiasaan dan tradisi-tradisi Muhammad. Dari situlah kemudian Syariah (artinya: “jalan”) dilahirkan. Syariah bukanlah sebuah konsep yang bisa dengan sederhana dijelaskan (bahkan oleh dan untuk orang-orang Muslim sendiri), tetapi ia bisa secara sederhana dianggap setara dengan “hukum Islam.”
Syariah mendikte setiap aspek dari kehidupan seorang Muslim – baik yang bersifat pribadi maupun umum. Ia adalah sebuah sistem total yang tidak hanya memberikan arahan kepada individu, tetapi juga tentang bagaimana seharusnya pemerintah memerintah. Karena itu Islam merupakan sebuah entitas religius-politik yang idealnya dipimpin oleh seorang kalif (“penerus”) dari Muhammad. Namun demikian, kalif menjadi seorang “pemimpin tertinggi” yaitu sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama. Singkatnya, tidak ada pemisahan antara “mesjid dan negara” dalam sebuah setting Islam yang ideal.
Sementara sekolah-sekolah Syariah yang berbeda-beda eksis dengan intepretasi Qur’an, Sunnah dan Hadis yang bervariasi, semuanya melihat Islam dan Muslim sebagai yang superior terhadap agama lainnya, dan memandang orang non-Muslim sebagai “dhimmi” (plural: “”dhimma”), yang dianggap sebagai kelompok masyarakat yang inferior dari orang Muslim, berdasarkan hukum Islam. Mereka yang dikategorikan sebagai dhimma (yaitu: Yahudi, Kristen dan penganut agama monoteistik lainnya), harus membayar pajak jizya dan kharaj (uang pemungutan suara dan pajak atas tanah) karena mereka tidak mengakui Qur’an. Mereka juga harus mengenakan pakaian yang berbeda (biasanya pakaian warna kuning untuk orang Yahudi dan warna biru untuk orang-orang Kristen).
Aliansi Nazi-Islam
Selama tahun 1930an, Orang-orang Muslim dari seluruh kebangsaan yang berbeda (khususnya kaum terkemuka Arab dan Persia), sangat bersimpati kepada Adolpf Hitler dan Naziisme. Demikian juga berlaku sebaliknya. Hitler dan Heinrich Himmler hanya memiliki hal-hal yang baik ketika menyebut tentang Islam, dan Hitler sendiri telah mengatakan bahwa adalah lebih baik jika Jerman memeluk “agama Muhammad” daripada memeluk Kekristenan yang dianggapnya sebagai agama yang “lemah-lembut dan rapuh”.
Pada saat yang sama, di dunia Arab, kegerakan yang mirip dengan Nazi mulai bermunculan. Ada yang disebut “Pandu Nazi/Nazi Scouts” dari kaum muda Arab yang tinggal di Palestina yang waktu itu merupakan wilayah mandat Inggris (didasarkan atas kaum Muda Hitler), “Green Shirt” / “seragam hijau” di Mesir, dan Partai Sosialis Nasional Siria. Bahkan Persaudaraan Muslim di Mesir sendiri, dalam ideologi politiknya, sangat dipengaruhi oleh Nazi; dan banyak orang-orang Nazi pelarian yang disambut dengan tangan terbuka di negara-negara Arab, setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2.
Namun ideologi Nazi juga memberikan pengaruh kepada negara-negara Muslim non-Arab, misalnya Iran. Pada tahun 1935, Persia dinamakan Iran (Tanah orang-orang Arya) dan Reza Shah Pahlavi, penguasa Persia/Iran secara terbuka menyatakan kekagumannya terhadap Hitler. Juga ada partai Nazi Iran yang dikenal sebagai SUMKA dengan simbolnya yang sama dengan simbol Nazi. Namun demikian, perasaan takut di antara pihak aliansi sedemikian besar sehingga Inggris kemudian memecat Reza Shah sebab ia menerima pengaruh Jerman di Iran. Pada masa itu, sebenarnya Churchill setidaknya pernah dalam satu kesempatan memperbandingkan Qur’an dengan Mein Kampf sebagai kitab yang memiliki isi dan tujuan yang mirip.
Pada periode inilah Mufti Yerusalem, Amin al-Husseini, bertemu dengan Adolpf Hitler dan pemimpin top Nazi lainnya, untuk menerapkan “Solusi Akhir Pertanyaan Mengenai Kaum Yahudi” untuk Arab/Muslim di Timur Tengah. Hitler dan Himmler sangat terbuka menyambut sang Mufti, dan dengan bantuan sang Mufti, Himmler membentuk dua divisi pasukan Muslim Waffen SS; satu dari Bosnia (Handschar, artinya “persekongkolan”), dan satunya lagi dari Albania. Juga masih ada divisi Waffen SS lain, yang agak kurang dikenal, yang terdiri dari orang-orang Muslim dari Soviet Kaukasus.
Bagaimana orang-orang Muslim yang saleh beraliansi dengan penuh kerelaan dengan ideologi Nazi, yang bersikap rasis dan yang pada dasarnya merupakan sebuah penyembahan berhala? Jawabannya sederhana. Naziisme, seperti halnya Islam, dikendalikan oleh sebuah sistem diktatorial totalitarian dengan seorang “Pemimpin Utama” yang membagi dunia ke dalam 2 kategori yaitu “superior” dan “inferior”. Seseorang akan bisa dengan mudah mengganti istilah “Fuhrer”, “Aryan”, “Ubermensch”, dan “Untermensch” menjadi “Kalif”, “Muslim”, “Dhimmi”, dan “Kafir”. Juga dalam Islam ada konsep “jihad” yang membagi dunia ke dalam “dar al-Islam” (rumah Islam, dimana Muslim memerintah) dan “dar al-harb” (rumah perang, dimana yang memerintah adalah “orang kafir”)
Dan sama seperti Islam, yang mengusahakan Islamisasi dunia secara total, Naziisme juga mengusahakan dominasi total orang-orang “Arya” atas “non-Arya”, serta pemusnahan total orang-orang Yahudi. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pemakaian pakaian kuning merupakan penemuan Muslim, bukan Nazi. Dan juga ada sebuah Hadis genosida yang sudah eksis sejak abad ke-7 yang menceritakan mengenai perang akhir antara Muslim dan Yahudi, dengan hasil pemusnahan total orang Yahudi. Hadis ini dikumandangkan secara cukup terbuka di dunia Muslim, hingga hari ini. Dan ini merupakan Hadis yang melaporkan bagaimana Muhammad membangga-banggakan “penghapusan etnis” melalui pembunuhan dan pengusiran orang-orang Yahudi yang hidup di Arabia.
Pasal Terakhir?
Serangan Muslim pada tanggal 11 September seharusnya membangunkan dunia non-Muslim mengenai apakah Islam itu sesungguhnya. Sayangnya, berita yang kita terima dari para pemimpin dunia tak lain hanyalah kata-kata hampa dan pujian terhadap Islam yang oleh George W. Bush disebut sebagai sebuah “agama damai.” Dan, tentu saja, istilah “Islam” dan “terorisme” tidak bisa disebutkan dalam sebuah kalimat yang sama.
Barangkali isu sebenarnya bukanlah soal Syariah, tetapi Islam dan Qur’an sebagai keseluruhan. Ketika dunia berdebat mengenai Islam “moderat” dan Islam “radikal”, kaum Muslim fundamentalis merencanakan kematian dunia Barat dan konsep serta nilai-nilai Yudeo-Kristennya.
Di bawah kedok “tagiyyah” (penipuan), orang-orang Muslim mendapatkan pengikut-pengikut baru secara damai melalui “dakwah” (panggilan), tetapi yang lebih sering terjadi adalah mereka mendapatkan pengikut baru melalui “jihad” (perang suci). Dalam ucapan pelaku bom yang gagal meledak di Times Square, Faisal Shahzad mengatakan: “perkuat diri anda, karena perang dengan Muslim baru saja dimulai. Anggaplah saya hanya sebagai tetes darah pertama yang jatuh yang akan diteruskan oleh tetes-tetes darah berikut.”
Di awal tahun 1930an, dunia yang bebas melakukan kesalahan sebab mengabaikan kata-kata Hitler hanya sebagai sebuah ancaman dan ocehan belaka. Akankah Barat dan dunia non-Muslim melakukan kesalahan yang sama saat secara terus-menerus berkonfrontasi dengan teror Islam?
Sumber Artikel: buktidansaksi.com