Pengampunan dan Kehormatan Dalam Alkitab dan Qur'an

Luke Plant

Saya telah banyak berdebat dengan teman-teman Muslim mengenai pengampunan, oleh karena hal ini sangatlah berbeda di dalam Qur’an dan di dalam Alkitab. Dalam artikel ini saya ingin membagikan beberapa pokok pikiran mengenai pengampunan Tuhan dan kehormatan Tuhan.

Dosa menyebabkan kita tidak menghormati Tuhan. Ketika saya berdosa, saya memilih sesuatu yang lain dan menganggapnya lebih bernilai, lebih penting daripada Tuhan. Jika saya menyembah sesuatu yang lain yang bukan Tuhan, misalnya uang atau ketenaran, saya mengatakan bahwa hal-hal ini lebih baik dan lebih menarik daripada Tuhan. Jika saya melakukan suatu pelanggaran seksual, walaupun Tuhan sudah dengan sangat jelas melarangnya, saya mengatakan bahwa kesenangan dosa itu lebih baik daripada sukacita dalam menaati Tuhan. Ketidaktaatan saya memperlakukan Tuhan seakan-akan Ia kecil, seakan-akan Ia adalah kotoran yang pantas diinjak-injak. 

Ketika kita dan sesama kita saling bersikap demikian, ini adalah hal yang serius. Tetapi skala penghinaannya bergantung pada siapa atau apa yang anda hina. Jika saya menghabiskan waktu untuk membuat suatu lukisan, dan anda menyerangnya dengan cat semprot, itu adalah penghinaan, namun tidaklah seberapa, oleh karena keterbatasan kemampuan saya berkesenian! Tapi jika anda pergi ke Louvre dan menyemprotkan cat pada lukisan Mona Lisa, ini adalah kejahatan yang jauh lebih besar. Maka, jika yang kita hina bukanlah makhluk terbatas seperti kita dan sesama kita, melainkan Sang Pencipta yang tidak terbatas, yang absolut sempurna dalam segala hal, maka pelanggaran itu sangat besar – berdasarkan tingkatan tak terbatas. Ketika kita berdosa, kita menghina Tuhan yang adalah pribadi yang sangat penting, sehingga sikap tidak hormat dan penghinaan itu sangat parah.

Lebih jauh lagi, tingkatan ketidakhormatan berubah tidak hanya melihat siapa yang dihina, tapi melihat hubungan yang ada antara anda dengan orang itu. Mustahil kita tidak menghormati orang yang sama sekali tidak kita kenal, tetapi perasaan malu menjadi berlipatganda bila ada relasi antara kita dengan orang itu, terutama dalam hubungan keluarga. Segala sesuatu yang saya lakukan, saya melakukannya sebagai representasi keluarga saya dan dalam keterkaitan dengan mereka. Mereka berhak mengharapkan loyalitas dari saya, dan suatu standar tingkah-laku tertentu. Pada kenyataannya ini berarti ada dua cara saya dapat tidak menghormati keluarga saya: pertama, saya dapat menghina mereka di muka mereka, dan kedua saya dapat bertingkah-laku sedemikian sehingga walaupun mereka tidak ada disini, saya menyeret nama baik keluarga saya menjadi sesuatu yang memalukan.  

Berkenaan dengan Tuhan, kita diciptakan dalam citra Tuhan, yang berarti bahwa kita mempunyai dimensi moral, dan kita adalah representasi-Nya di bumi ini, yang harus bersikap seperti layaknya seorang raja, bertingkah-laku yang sesuai dengan Tuhan. Lihat Kejadian 1:26-28 (Genesis 1:26-28). Dalam pengertian itu, secara metaforis kita adalah ‘keturunan-Nya’. Lihat Kisah Rasul 17:28 (Acts 17:28). Tuhan bermaksud agar kita menjadi bagian dari keluarga-Nya. Di Taman Eden, diceritakan pada kita bahwa Tuhan ‘berjalan-jalan’ dengan Adam dan Hawa. Lihat Kejadian 3:8 (Genesis 3:8) — mereka menikmati sebuah hubungan yang luar biasa. Betapa ini adalah suatu hak istimewa yang menakjubkan yang diberikan pada kita manusia! 

Jadi, ketika saya tidak menaati Tuhan, saya tidak menghormati-Nya dengan dua cara: pertama-tama saya menghina-Nya tepat di hadapan-Nya, dengan mengabaikan perintah-Nya dan menyepelekan kasih-Nya sebagai Bapa yang telah ditunjukkan-Nya pada saya, sama seperti yang telah dilakukan Adam dan Hawa; namun saya juga mengirimkan sinyal kepada seluruh alam semesta: “keturunan Tuhan bertingkah-laku memalukan”. 

Bila kita mengumpamakan hal ini: dosa kita terhadap Tuhan seperti seorang pangeran yang pergi menghadap ayahnya yang baik, sang Raja, di muka umum, lalu melengos dengan penghinaan dan tidak tahu berterima-kasih, dan meludahi wajahnya.

Apa yang akan dilakukan Tuhan dalam situasi seperti itu? Apakah Ia akan mengabaikan saja tingkah-laku kita yang telah mempermalukan-Nya? Tidak, sikap tidak hormat semacam itu harus dihukum. Hukuman yang tepat untuk itu adalah penghukuman kekal – penghukuman kekal di neraka.

Jika seseorang menggambar lukisan penghinaan terhadap Muhammad, orang-orang Muslim tidak akan diam saja. Jika mereka tidak melakukan apa-apa terhadap penghinaan pada Muhammad, maka itu akan mengirimkan sinyal yang sangat jelas kepada dunia bahwa: tidak apa-apa jika menghina dan tidak menghormati Muhammad. Dan itulah sebabnya mengapa orang-orang Muslim tidak pernah mengijinkan penghinaan terhadap Muhammad berlalu begitu saja tanpa mereka melakukan sesuatu terhadap hal itu, untuk menunjukkan bahwa penghinaan padanya tidak dapat diterima. 

Tapi bagaimana dengan Tuhan, yang jauh lebih besar daripada Muhammad? Jika Tuhan begitu saja mengampuni orang-orang yang tidak menghormati-Nya, tanpa melakukan apapun terhadap tindakan tidak hormat itu, maka Ia sedang mengirimkan pesan yang sangat jelas: tidak apa-apa jika kita menginjak-injak Tuhan seperti kita menginjak-injak kotoran. Teruskan saja menghina-Nya, Ia tidaklah terlalu penting. Akankah Tuhan mengatakan hal semacam itu? 

Saya dapat membayangkan beberapa keadaan dimana manusia akan menerima malu dan ketidakhormatan tanpa melakukan apapun mengenai hal itu:

  1. Jika tidak ada yang dapat dilakukan, jika saya tidak sanggup membereskannya, mungkin saya akan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Tapi sudah tentu Tuhan tidak pernah berada dalam situasi seperti ini, karena Ia memiliki kuasa yang tidak terbatas.
  2. Atau jika saya menyadari bahwa saya tidak berhak menuntut pembalasan, karena saya telah melakukan hal-hal yang lebih buruk kepada orang lain. Sekali lagi, ini tidak berlaku pada Tuhan, yang senantiasa melakukan apa yang sungguh-sungguh benar.
  3. Atau jika saya tidak menghormati diri saya sendiri – jika, untuk beberapa alasan, saya tidak dapat melihat martabat saya sebagai manusia. Tetapi martabat Tuhan jauh lebih tinggi daripada martabat saya, dan Ia tidak akan pernah melupakannya!
  4. Atau jika saya menyadari ada sesuatu yang jauh lebih penting, yang untuknya saya rela mengorbankan kehormatan saya. Namun sekali lagi, bagaimana mungkin Tuhan akan berpikir seperti itu – apakah yang lebih penting daripada Tuhan sendiri?

Tidak, Tuhan mempunyai respek terhadap diri-Nya sendiri, respek yang tidak terbatas, dan senantiasa ‘cemburu’ akan kehormatan-Nya, menegaskan bahwa tidak ada sesuatupun dan siapapun yang tidak menghormati-Nya atau mengambil kehormatan-Nya yang adalah milik-Nya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan-Nya dalam Ulangan 4:23-24:  

Jagalah dirimu agar kamu tidak melupakan perjanjian YAHWEH Elohimmu, yang telah Dia buat dengan kamu, dengan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang telah YAHWEH Elohimmu larang. Sebab YAHWEH Elohimmu adalah api yang menghanguskan, Dia-lah Elohim yang cemburu.

Yesaya 42:8 mengatakannya demikian:

Akulah YAHWEH, itulah nama-Ku, dan Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain, dan pujian-Ku kepada patung.

Tuhan menegaskan bahwa Ia harus dihormati, dan ini benar, oleh karena Dia-lah yang paling penting dan pribadi yang paling berharga dalam seluruh realita. Jadi Tuhan hanya akan mengampuni jika Ia dapat memulihkan kehormatan-Nya pada waktu yang sama. Ia hanya akan mengampuni jika Ia dapat menunjukkan, pada saat yang sama, bahwa Ia menyikapi pelanggaran terhadap-Nya sebagai hal yang benar-benar serius.

Mungkinkah iut? Ya, dalam Alkitab, Tuhan Sang Bapa dan Sang Putra keduanya benar-benar melakukan hal itu.

Dalam seluruh Perjanjian Lama, Tuhan menunjukkan adanya kebutuhan akan kurban untuk menebus tindak ketidakhormatan oleh karena dosa kita. Namun hidup seekor lembu atau domba bukan apa-apa dibandingkan ketidakhormatan kita kepada Tuhan. Maka, pada waktu yang telah ditetapkan, Tuhan Sang Bapa menunjukkan betapa seriusnya dosa kita melalaui kurban yang paling menakjubkan yang pernah ada – Ia memberikan Putra tunggal-Nya. Lihat Yohanes 3:16  (John 3:16). Ini adalah kurban yang tertinggi, dan darah-Nya sangat tidak ternilai. Lihat Ibrani 9:11-14, 1 Petrus 1:18-19 (Hebrews 9:11-14, 1 Peter 1:18-19).  

Dan Sang Putra menunjukkan kehormatan sejati yang pantas diberikan kepada Tuhan, karena Ia rela melakukannya untuk mempermuliakan Bapa-Nya. Putra Tuhan telah menunjukkan nilai tertinggi dari Bapa, pertama-tama melalui menyerahkan bahkan kemuliaan surgawi yang pantas disandang-Nya, dan menjadi seorang manusia, seorang hamba. Dan tidak hanya hidup sebagai hamba, tetapi mati, dan tidak hanya mati, tetapi menjelang ajal kematian yang paling memalukan sebagai seorang penjahat, dan berada di bawah kutuk dosa dan murka Tuhan. Lihat Filipi 2:5-8  (Philippians 2:5-8). Dalam semuanya ini Yesus rela melakukannya untuk memuliakan Bapa-Nya. Lihat Yohanes 17:4 (John 17:4).  

Dengan cara demikianlah Tuhan mengampuni orang-orang yang berdosa – Yesus menanggung malu yang mestinya kita tanggung, dan yang sudah sepantasnyalah kita tanggung, dan kita diberikan kehormatan yang selayaknya adalah milik-Nya. Namun pada saat yang sama, Tuhan tidak mengkompromikan kehormatan-Nya sendiri. Bapa menunjukkan, melalui kurban tertinggi, bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap diri-Nya adalah pelangaran yang besar. Dan Putra menunjukkan, dengan kerelaan-Nya untuk masuk ke neraka oleh karena kasih dan ketaatan kepada Bapa-Nya, seberapa pantasnya Bapa itu, dan tingkah-laku yang bagaimana yang seharusnya kita tunjukkan kepada-Nya. 

Tuhan di dalam Qur’an tidak bersikap seperti ini. Ketika Ia mengampuni, Ia tidak melakukan apa-apa terhadap sikap tidak hormat kita pada-Nya. Pada akhirnya, Ia menganggap kesenangan pria dan wanita di firdaus adalah jauh lebih penting daripada kehormatan-Nya sendiri, dan begitu saja mengabaikan pelanggaran-pelanggaran mereka. Dari perspektif kristiani, sesembahan yang bersikap seperti itu muncul dari penemuan pikiran manusia – karena hanya pikiran manusia yang berpendapat bahwa hal diampuni dan pergi ke surga adalah jauh lebih penting daripada kehormatan Tuhan. Pada kenyataannya, itulah yang selalu kita lakukan – sejak Adam dan Hawa dan seterusnya, kita telah mendahulukan keinginan kita sendiri daripada menghormati Tuhan. Jadi anda akan mengharapkan manusia menciptakan sesembahan yang tidak mempunyai respek terhadap dirinya sendiri – yang menjadikannya sesembahan yang tidak patut menerima hormat dari kita. 

Tetapi Tuhan dalam Alkitab membela kehormatan-Nya, sebagaimana yang seharusnya Ia lakukan, namun oleh karena kasih-Nya yang luar biasa pada kita Ia telah membuat jalan untuk membawa kita kepada posisi yang terhormat tanpa mengkompromikan kehormatan-Nya sendiri. 

Salib juga alasan mengapa orang-orang Kristen dapat mempunyai pengampunan penuh dan tidak hidup sesuka kita. Pengampunan Tuhan sangat menakjubkan dan absolut, dan ada kebebasan luar biasa di dalamnya. Saya tahu bahwa setiap dosa saya, termasuk dosa-dosa yang akan saya lakukan di masa depan, sudah diampuni. Namun saya tidak boleh berpikir “Baiklah, saya telah diampuni, maka saya boleh hidup sesuka saya” – harga termahal yang telah dibayar Yesus di atas kayu salib telah memperjelas bahwa dosa adalah hal yang benar-benar serius, benar-benar tidak menghormati Tuhan. Dan bagi orang-orang Kristen, yang mengasihi Tuhan, ini memberikan motivasi lebih banyak lagi untuk menghindari dosa bahkan pikiran akan neraka.


(Banyak terimakasih kepada Rolland Muller untuk bukunya ‘Honour and Shame’ yang menginspirasi artikel ini).

Judul Asli: Forgiveness and Honour in the Bible and the Qur'an